Selasa, 27 April 2010

Tidak nyaman berarti kita sedang tumbuh

Di ASC sekarang baru ada pengumuman yg promosi dan kenaikan berkala.., ternyata tahun ini agak beda, di mailing list petinggi asc saling membesarkan hati bagi yg gagal naik..dll, including divisi manager ikutan juga nimbrung, ini ada artikel yg cukup menarik bisa bikin motivasi rekan2rekan yg ingin meninggalkan kenyamanan bekerja di ASC...

Ada penelitian di sebuah falkutas:
Ada satu ulat yang mau menjadi kepompong,
pada waktu dia mulai keluar dari kepompongnya untuk menjadi
kupu - kupu, proses ini dipermudah..

Pada waktu itu dipermudah, dibukain kepompongnya dan
akibatnya apa yang terjadi? Kupu - kupu tadi jatuh dan
dia mati, dan dia tidak bisa terbang.

Ternyata di design oleh alam semesta, pada waktu dia mau
keluar dari kepompongnya, dia merasa tidak nyaman.
Dia bersusah payah ketika dia begerak dan mendorong seperti
ketidak nyamanan tadi, ternyata itu membuat aliran-aliran
istilahnya zat-zat yang penting di dalam sayapnya sehingga
sayap dari kupu-kupu tadi siap dan kuat untuk digerakkan
sehingga kupu-kupunya bisa terbang.

Dan ternyata kalau dipermudah hasilnya ternyata malah membuat
kupu-kupu tadi mati.

Setiap penghancuran, itu adalah proses dari satu penciptaan.
Ketidaknyamanan itu adalah awal dari kita tumbuh menjadi
lebih baik. Ketika orang mau tumbuh, ototnya menjadi lebih besar,
ketika dia latihan angkat Barbel dari 1 (satu) sampai 10 (sepuluh),
itu sudah paling berat.

Ototnya pada hitungan keberapa akan tumbuh? Bukan, bukan kesepuluh,
tapi keduabelas, ketigabelas atau bahkan keenambelas baru dia tumbuh.

Ketika ia keluar dari zona nyaman dan menuju kesebelas,
duabelas dengan sekuat tenaga, yang terjadi adalah ototnya
bertambah besar.

Nah ketika kita mengalami satu tantangan didalam hidup ini
selalu pegang prinsip ini: Ketika saya merasa tidak nyaman
berarti saya akan lebih baik karena hal ini.

Tidak Nyaman Berarti Tumbuh.

sumber: Tung Desem Waringin

Sabtu, 24 April 2010

1 Lulus, 6 menyusul?????


Setelah beberapa lama sepi, bulan ini ada 1 orang lagi karyawan ASC yg berhasil lulus jd Alumni ASC, Adi Wikarya _QA Departemen yg menuju Qatar Alumunium (Qatalum), dan ternyata masih ada 6 rekan lagi yg menunggu Visa untuk memastikan menjadi Alumni ASC, yg 2 untuk Chevron-Saudi, 2 lagi untuk QAPCO dan yg dua lagi untuk Borouge, siapakan mereka tunggu beritanya di Alumni ASC, bisa sedikit ngintip inisialnya, KJ dan HB (Chevron); MT dan MJ (QAPCO) semunya dari Produksi dan DQdan MA utk Borouge-QA and Maint (maaf agak samar karena takut ketahuan boss ntar diintimadasi lagi...)

Jumat, 23 April 2010

Lulusan terbaik jadi tukang sapu



Beginilah CErmin ketidakberesan Manajemen di Indonesia.., KKN, Kolusi, lebih mementingkan diri sendiri, kalo sudah diatas membela kepentingan Bos aja..capek deh..makanya tinggal ada trigger aja bakalan deh kerusuhan akan meluas...sepeti COntoh berita dibawah ini..

PEKANBARU (RP) - Matahari sudah semakin tinggi di atas Gedung Kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Riau di Jalan Gajah, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru.

Beberapa orang lalu-lalang di kantor tersebut, namun seseorang berseragam dinas yang akhirnya diketahui bernama Jack Lord (30) masih tetap berkutat dengan tangkai sapu dan kain lap untuk membersihkan beberapa lantai ruangan di kantor tersebut.

WARGA Jalan Genteng Perumahan Tampan Permai, Kelurahan Tuah Karya, Kecamatan Tampan, ini, sebenarnya adalah seorang PNS golongan III A, namun saat bercerita dengan Riau Pos di kantor tersebut dia terkesan malu dan hampir tidak mau mengakui bahwa dia adalah PNS yang pernah menamatkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Riau (Unri) dengan indeks prestasi kumulatif 3,75.

Kenyataan tentang dirinya adalah seorang sarjana tersebut hampir tenggelam dan tidak terlacak jika sekilas melihatnya, namun Riau Pos terus bertanya tentang siapa diri Jack sebenarnya. Jack Lord kemudian memulai ceritanya bahwa dia sudah menjadi PNS tahun 2002 dalam kualifikasi tamatan SMU pada golongan IIB sebagai pengatur muda tingkat satu.

Pada tingkat ini, Jack mulai bekerja sebagai tenaga cleaning service. Dia setiap harinya harus menyapu lantai dan membersihkan ruangan, mengepel, membersihkan kaca, bahkan membersihkan kakus di kantor tersebut. Namun resminya tercatat pekerjaannya adalah sebagai pengelola kebersihan ruang belajar dan aula kecil.

Saat bercerita itu, suara Jack Mulai lirih, tangan kanannya yang memegang tangkai sapu terlihat bergetar, tarikan napasnya juga terdengar cepat. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca.

Jack mengaku, sambil bekerja, dia berusaha untuk kuliah karena dia juga punya cita-cita menjadi seseorang yang bisa dibanggakan oleh orang tua dan keluarganya. Namun sampai Rabu (21/4) kemarin, nasibnya tetap saja sebagai tukang pel lantai LPMP.

Walaupun Jack telah berhasil menamatkan kuliah dan lulus hampir dengan nilai cum laude di universitas negeri terbesar di Riau serta telah melewati proses penyesuaian ijazah, tapi tak ada perubahan dalam pekerjaannya.

‘’Saya sudah pernah protes dan sampai ke Jakarta, namun tetap tidak ada perubahan. Sepertinya mungkin inilah takdir saya, menjadi tukang sapu saja. Saudara saya juga jadi tukang sapu jalan. Berdua bersaudara kami laki-laki yang lulus kuliah seperti dipermainkan nasib, anak yang seharusnya sudah bisa membanggakan orang tuanya, tapi sampai kini hanya jadi tukang sapu,’’ ujar Jack berlinang air mata.

Dia merasa dipermainkan dan ditindas, protes kepada atasannya terus dilakukannya. Malah pernah dia bertanya, apakah memang ada pegawai negeri golongan IIIA sebagai penyapu lantai dalam SK yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tapi waktu terus berlalu, pekerjaan harus tetap dilakukannya, dan tetap tidak ada perubahan.

Dulu saat dia protes ke Jakarta, ditanggapi oleh Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang ditandatangani Ir Giri Suryatmana. Oleh Giri, atasannya yang di Pekanbaru disuruh untuk memperbaiki SK sesuai dengan golongan yang ditempati Jack. Atasannya mengakui ada kesalahan dalam pengetikan. Tapi kondisi masih tetap saja sama setelah protes tersebut.

‘’Dengan golongan yang sama, teman-teman duduk dalam ruangan bekerja dengan kertas dan pulpen tapi saya memegang sapu membersihkan lantai. Saya tidak keberatan dengan pekerjaan ini, karena dari dulupun inilah pekerjaan saya tapi apa sesuai dengan yang sudah saya tempuh, percuma saja rasanya saya pernah kuliah,’’ ujar Jack sambil terisak.

Dengan suara lirih sambil menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya, Jack mengatakan, dia mengerti dengan berbagai birokrasi pemerintahan dan berbagai disiplin ilmu pemerintahan serta bagaimana manajemen kepegawaian. Menurutnya, apa yang sedang dijalaninya sekarang ini sangat bertetangan dengan hatinya yang memahami pekerjaan pemerintahan.

Lalu dengan suara lirih dan parau, Jack kemudian bertanya, ‘’Apakah nasib saya ini karena ada kesalahan dari nenek moyang atau orang tua saya dulu sebelum melahirkan saya? Tak sanggup rasanya ditahankan hati tapi saya harus hidup menjalani nasib ini,’’ tanya Jack.

Jack mengaku sedikit kehilangan percaya diri, memasuki umur kepala tiga, dirinya belum menikah. Pernah terpikir dan terasa di hatinya untuk menikahi seorang gadis, tapi kondisinya sebagai seorang tukang sapu membuatnya tidak pernah berani mengungkapkan perasaan pada perempuan pujaan hatinya. ‘’Saya ini tukang sapu, siapa yang akan mau bersuamikan saya ini. Sepertinya tak ada orang tua seorang anak gadis yang mau melepaskan anak gadisnya hidup bersama saya,’’ ujar Jack dalam dialek Melayunya yang kental.

Jack juga menjelaskan, bukan tidak bisa menerima pekerjaan sebagai petugas kebersihan, namun lebih kepada kompetensi keilmuan dan kelaziman di dunia kerja.

‘’Bukan dikarenakan tidak menghargai pekerjaan tersebut. Hanya saja, naif rasanya bila melihat orang dengan golongan yang sama, bisa bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Saya sarjana Ilmu Pemerintahan, saya mengerti tugas pokok dan pekerjaan aparatur pemerintahan, etika birokrasi, pembagian kerja dan kewenangan, kebijakan publik, membuat undang-undang, bahkan ilmu politik dalam pemerintahan. Saya ini mungkin tidak kalah dibandingkan dengan para alumni Sekolah tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang membedakan kami sepertinya hanya nasib saya yang menjadi tukang bersih-bersih ini,’’ ucap salah satu mahasiswa terbaik Unri tahun kelulusan 2003 tersebut dengan mata kembali berkaca-kaca.

‘’Bila dalam ketentuannya memang ada hal yang membenarkan PNS dengan golongan III A bekerja sebagai tenaga kebersihan, bisa saja tugas itu tetap akan diterima sebagai konsekuensi tugas. Hanya saja, jelas hal tersebut bukan sebuah kelaziman di lingkungan pemerintah. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa saat ini pemerintah lebih banyak menggunakan tenaga outsourching untuk mengerjakan tugas pembantu umum perkantoran,’’ sebut Budi Astoto, salah seorang mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan ketik diminta tanggapannya tentang nasib Jack.

Dia mengaku kecewa, karena, secara kualitas, sumber daya manusia seperti Jack Lord harusnya mendapatkan job description yang jelas sesuai dengan kualifikasi ilmu dan kepangkatan yang dimilikinya.

‘’Saya bahkan baru sekali ini mendengar pegawai golongan IIIA bekerja sebagai pembersih ruangan kantor. Karena selama ini tugas itu hanya diberikan pada tenaga tidak terdidik dan tidak terlatih,’’ sebut dia.

Penjelasan tersebut juga dikuatkan oleh staf pengajar Ilmu Pemerintahan Unri, Saiman Pakpahan SIP MSi yang menyebutkan bahwa hal tersebut pasti terjadi dikarenakan penyusunan Struktur Organisasi Tata Pemerintahan (SOTK) yang tidak clear. Bila penempatan tersebut didasari oleh alasan bahwa tidak ada posisi untuk penempatan pegawai dengan golongan yang setara, harusnya, antar-satuan kerja bisa saling berkoordinasi. Dengan demikian, potensi jajaran tetap sesuai dengan golongan dan tugas pokoknya.

‘’Saya malah melihat hal ini menunjukkan lemahnya sensififitas pimpinan, karena, idealnya, pimpinan bisa melihat potensi bawahan sesuai dengan golongan. Ini baru pertama sekali saya dengar, PNS golongan III A bertahun-tahun menjadi pekerja kasar yang tugasnya membersihkan ruangan. Bisa jadi ini banyak terjadi, tapi, itu merupakan bentuk tidak pekanya pimpinan terhadap potensi yang ada di wilayah kerjanya,’’ sebut dia.

Kata Sulaiman lagi, kalau alasannya adanya sikap suka atau tidak suka, itupun tak bisa jadi ukuran dalam kerja birokrasi, karena, kinerja birokrat diukur bukan berdasarkan aspek personalitas, melainkan profesionalitas bekerja. “Adapunish and reward. Pemimpin tak bisa menilai berdasarkan ukuran suka atau tidak suka, atau aspek kedekatan. Yang kita khawatirkan dalam sistem yang seperti itu, ada pegawai dengan golongan yang lebih rendah, tapi bisa mengerjakan tugas yang harusnya bisa dikerjakan oleh petugas yang mengerjakan pekerjaan kasar tersebut,’’ papar Saiman.

Riau Pos mencoba mengkonfirmasi status Jack ini kepada Kepala LPMP Riau, Zainal, namun dalam keterangan singkatnya Zainal mengaku sedang mengikuti acara dan minta tidak diganggu dahulu.

Kasubag Umum LPMP Riau, Drs Syukhmide Hendri saat ditemui secara terpisah tidak menafikan adanya pekerja dengan tamatan sarjana dipekerjakan sebagai tenaga cleaning service di kantornya. Hanya saja, saat ditanyakan apa dasar penempatan dan pembagian kerja yang digunakan, Syukhmide Hendri berusaha menghindar dengan pergi begitu saja meninggalkan Riau Pos, padahal sebelumnya dia sempat hendak bercerita panjang seputar tugas di LPMP. Sembari berpura-pura memanggil salah seorang pegawai, Syukhmide langsung lari begitu saja.

Diminta Bersabar
Terkait masalah ini, Kepala Dinas Pendidikan Riau, Prof Dr Ir Irwan Effendi mengaku tidak bisa menghakimi lembaga maupun orangnya. Pasalnya, sesuai dengan ketentuan hal tersebut adalah kebijakan pimpinan maunpun lembaga di mana dia bekerja. Selain itu juga, sebagai PNS apapun dia harus siap menghadapinya.

‘’Kita tidak bisa menilai orang dari penilaiannya di akademis. Jika memang dia melangkah dari tamatan SMA dan baru penyesuaian berarti memang ada jenjang untuk itu. masalah apa yang dikerjakannya mungkin kerena belum ada kesempatan saja. Yang jelas dia harus bersabar saja,’’ terangnya saat dihubungi
Riau Pos Rabu

Kerusuhan karena orang India di batam


Kemarin tepatnya 22 april 2010, terjadi kurusuhan di salahsatu perusahan Pabrikasi di Pulau Batam- Kepri, Peristiwa ini berawal dari seorang tenaga kerja ASing dari India yang menyatakan pekerja Indonesia itu Bodoh dan malas..., Seperti sering mendengar dari rekan2 yang bekerja di Middle East, Orang India ini paling reseh banget, Di Indonesia aja mereka berani seperti Ini apalagi disono yah...???
Kejadian ini sempat terjadi pemusnahan properti, seprti mobil dll (dibakar giru lho...) gimana yah seandainya ini terjadi di Middle East...ga bkalan kali yah...???
Berikut serita detailnya info dari sekarng kawan yang bekerja disono..:


Peristiwa pengejekan dan rasial ini yang saya ketahui dan terekspose ke
karyawan sudah 3 kali terjadi dengan yang ini.
Peristiwa pertama dan kedua terjadi kira2 sebulan yang lalu, pemicunya tetap
orang india juga..

- Peristiwa pertama orang india ini ngomong Indonsian People Stupid, lazy...
dan umpatan lainnya...
Makian rasis ini di tujukan ke perkerja subcontraktor electrical, pada
peristiwa tersebut si orang india ini langsung di hajar oleh karyawan
drydock sendiri (lokal staff). Tapi peristiwa ini selesai setelah si orang
india tersebut minta maaf.

- Peristiwa kedua orang india ini mengatakan 98% perempuan indonesia murahan
dan bodoh. Hal ini di lontarkan ke pada 2 orang karyawan perempuan di bagian
admin QC.
Pada peristiwa ini seluruh karyawan lokal membuat surat pernyataan dan
menuntut management melakukan tindakan, akan tetapi dari pihak management
tidak ada follow upnya. Sampai akhirnya si orang india cabut karena di ancam
oleh karyawan.

- Dan peristiwa terbaru yang saya pikir akumulasi dari kesabaran orang2 kita
terhadap sifat rasis dari orang india ini yang mana tidak ada mendapat
response sebelumnya dari management dan HR.
Kata rasisme yang sama di ucapkan oleh si india ke pekerja lokal (subcont)
elecrical pada saat di mulai jam kerja.

Jadi ini adalah puncak dari akumulasi yang selama ini di pendam, di hina dan
di lecehkan sebagai anak bangsa oleh india yang mana kemampuan mereka tidak
lebih baik dari orang2 lokal sendiri - malah ada yang tidak tahu apa2. (ini
yang saya rasakan ketika bekerja sama dengan orang india tersebut - baik
ketika masih bekerja di electronic maupun sekarang yang sedang mencoba dunia
Fabrikasi) dan merekapun mencari hidup dan makan di bumi Indonesia.

Jadi peristiwa ini adalah rasa soidaritas sebagai anak bangsa (bukan hanya
sebagai teman) yang mendapat perlakuan rasis dan tidak adil di tanah air
sendiri.

Dalam hal ini, pihak pemerintah harus benar2 melindungi warga negaranya dan
selektif terhadap TKA ini. Mosok orang yang tidak tahu apa2 (kadang membaca
gambar saja mereka tidak tahu) bisa menjadi Boss di negera kita sendiri.....

Ayo....bangkitlah Indonesia ku...kibarkan panji merah putih selalu...

Senin, 19 April 2010

Alumni Pasukan Berani OT...



Masih ingat ama rekan kita satu Ini??? Doi dulunya bekerja di departemen MPU seksi Instrumentasi...sejatinya doi adalah kumpulan Anak Instrument Departemen sebelum dipecah masuk kebeberapa departemen yg mengawasi Plant..., dan DOi posisi terakhirnya bekerja di MPU, sepert yg khlayak ASC ketahui, konon dahulu kala Departemen Instrument atau yg ada Bau2 Instrumennya di ASC sangat sering TUrn Over Karyawannya, bahasa kerennta Laku keras diluarannya, baik Staf ataupun Operatornya....
Nah salah satunya 3 Musketer yg anggotanya Hesti, Yudi, dan Adi..
Yang Admin bahas sekarng kebetulan rekan kita bernama Yudi, Doi masuk ASC skitar tahun 1998 dan berhasil lulus bulan JUni tahun 2006, doi sekarang bertugas di PetroVietnam, tepatnya di Vung Tau city - Vietnam.
Kesannya setelah keluar dari ASC......Wah ternyata Dunia ini luasssssssss..banget.. bukan hanya sekjar ngejar OT tiap hari (dulunya doi termasuk pasukan berani OT pimpinan pa Yohannes heheheh...)
bagi rekan-rekan yg ingin menjalin silaturahmi dengan doi bisa meng Add doi di FB dgn nama Yudi Estea,
Buat Yudi...moga tambah sukses and sehat selalu...jangan lupa pasukannya diajak dong...Ups ntar ada yg ngirim ke Manajemen lg nih...

Kamis, 15 April 2010

QChem... masih ada yg minat..

QCHEM Campaign
Posted by : , April 16, 2010


CAMPAIGN

QCHEM will be held an interview for Operator Only.

Walk-In candidates are welcome.

Writing test only oneday:

1st Session : Writing test will be start at 08:00 WIB

2nd Session : Writing test will be start at 11:00 WIB

Those whom passed will be move to COBRA TEST

Also whom passed COBRA TEST will be interviewed by Technical Team.

Thursday May 13, 2010 Start at 08:00 At Ristz Carlton Hotel, 2nd floor, Mutiara room 1,2,5,6&7

Candidates may be need to spare time for days, if necessary.

ITB VS ITS...

Hallo semua temen2 Alumni,.. kangen juga euy ga nulis di Blog..udh sebulan ini Internet dirumah mati krn kesalahan teknis.. untuk awal dapat postingan menarik nih , moga bermanfaat..
Malam itu, saya pergi berselancar bersama Eyang Google. Mata saya terbelalak melihat kata-kata berbunyi "Melawan Hegemoni ITB" tercecer di milist alumni ITB. Padahal niat awal hanya mencari kabar tentang Dies Emas ITB setahun lalu (nama ITB resmi dipakai 2 Maret 1959). Karena penasaran, saya malah menelusuri perdebatan ini, tanpa suatu tendensi apapun. Sampai pertanyaan, siapa kampus teknik terbaik di Indonesia? Kakaknya atau adiknya?

Kampus ITS, ITS Online - Soal SNMPTN baru saja dibagikan. Mata Andi melirik Tono. "No…Pilih apa nih, B atau S?". "B aja. B itu pasti Bahagia". "Kalau S?". "S itu Sengsara Ndi. " sekejap gigi Tono berderet tampil di bawah bibirnya yang mengembang. Sementara alis Andi mengerut keheranan. Cita-cita keduanya memang jadi insinyur. Setahu mereka, hanya ada dua sekolah yang secara jantan bisa memberi mimpi itu. Tidak sedikit anak seperti Andi yang selalu bingung memilih kampus tambatan hatinya. Akhirnya image-lah yang menuntun mereka menempatkan B dulu baru S. Benar salah?

Saat ini, hampir tiap kampus memiliki jurusan teknik, kecuali Akademi Kebidanan. Tapi kalau bicara masalah dedengkotnya teknik, hanya ada dua: ITB dan ITS. Nama besar keduanya jadi rebutan anak-anak SMA sederajat. ITB terkenal dengan nama harum alumninya, salah satunya Ir Soekarno, sedangkan ITS terkenal dengan industri maritim dan dunia robotikanya.

Sayang, di mata masyarakat luas, keberadaan ITS masih di bawah bayang-bayang saudara tuanya. Seperti bayang-bayang klub sepak bola Manchester United di atas Manchester City. Wajar saja, sejak SNMPTN masih bernama UMPTN sekitar 20 tahun lalu, nama ITB tak pernah bergeser dari posisi puncak nilai rata-rata terbaik untuk kelompok IPA. ITB tetap paling favorit sedang ITS hanya mampu menggoda siswa SMA sederajat di wilayah Jawa Timur dan sebagian Indonesia Timur. Bahkan di wilayah barat, nama ITS hanya terdengar sayup-sayup.

Terbukti, tiap kali saya pulang kampung ke Depok, Jawa Barat, banyak tetangga yang bilang, "ITS ya, swasta atau negeri tuh?". Dalam hati saya membalas,"Swasta dari Hongkong!!!" . "Wah…hebat kamu ya bisa kuliah di Hongkong." ternyata ia bisa baca kata hati saya. Lain tetangga, lain pula tusukan teman lama saya yang polosnya luar biasa. "Kuliah dimana sekarang?" tanyanya. "Ehm…jadi nggak enak nih nyebut-nya," gaya saya agak sombong. "ITS dong bro!" jawab saya bersemangat. "Wah…ITS, pinter juga lu bro! Di Semarang nge-kos apa sama saudara?". Yah…

***
Sekali lagi, tanpa tendensi dan tiap fakta di bawah ini tak bisa digeneralisasi. Saya juga tak mau disebut seperti kata pepatah: istri tetangga lebih cantik dari istri sendiri. Oh salah, rumput tetangga maksudnya. Saya hanya pengamat dari perdebatan everything about ITS dan ITB di dunia maya. Saya laporkan di sini dengan kerendahan hati, semoga kita semakin terpacu.

Percaya Diri
Banyak blog (malah dari anak ITB sendiri) menyimpulkan bahwa sombong adalah sifat yang paling kentara dari anak ITB. Kalau saya menilainya bukan sombong tapi percaya diri. Simpulan lain, anak ITS malah down ketika berhadapan dengan nama besar UI, ITB, dan UGM. Pada poin terakhir ini, 80 % saya sepakat. Entah mengapa, aura mereka begitu menyilaukan.

Saya punya teman SMA di ITB, ketika sekelas di SMA dulu levelnya sepadan lah dengan saya. Kelas terbang menengah. Artinya rangking selalu melayang, bodoh tidak, pintar apalagi. Tapi ketika terakhir bertemu, wah…berubah! Kepercayaan dirinya menanjak drastis terlihat dari caranya berbicara. Katanya, menyandang gelar "anak ITB" membuatnya percaya diri. Padahal dulu, kalau ada tugas presentasi bawaannya izin ke belakang terus.

Ada sebuah idiom unik di sebuah blog,"Kalau orang ITB mikirnya negara, kalau orang ITS mikirnya bagaimana mengalahkan ITB,". "Yah…kalau ITS mah nggak level," tambahnya. Kalau ITS masih coba melangkahi ITB. Kami (ITB), tulisnya, sudah berpikir bagaimana bersaing dengan Todai, Kyodai, Beijing, Nanyang, NUS, Chulalongkorn dkk. "Lewatin dulu tuh UI sama UGM!" lanjutnya.

Saya sama sekali tidak marah. Malah saya bergumam,"Oh iya, kenapa tidak berpikir sejauh itu?". Kalau sparring partner kita Tokyo Daigaku bahkan MIT, mungkin kita bisa lari lebih cepat. Mudah-mudahan saya sedang tidak bermimpi.

Contoh lain adalah masalah gaji. Di banyak forum diskusi dunia maya, banyak cerita kalau anak ITS ketika ditanya tentang gaji oleh interviewer, menjawab dengan malu-malu,"Terserah Bapak saja," . Lantas kemudian dibalas Sang HRD "Di bawah UMR ya?". Dalam hati saya mencandai, "Oh iya Pak, tidak apa-apa, yang penting bisa makan. Ngomong-ngomong UMR itu apa Pak?"

Beberapa posting menyebut bahwa fresh graduate ITB terkenal berani pasang tarif tinggi. Benar atau tidak tak jadi masalah. Bagi saya bukan masalah uangnya, tapi keyakinannya. Seperti beberapa ekspatriat di Indonesia. Berapa persen sih dari mereka yang punya "kemampuan sebenarnya". Kadang malah hanya menang penampilan, percaya diri, dan bahasa Inggris cas-cis-cus.

Lulusan bermutu ibarat Mercy SL Class. Dua milyar atau sebanding dengan dua Alphard pun jadi impas untuk mobil dengan spesifikasi seperti itu. Nah, anak ITS bisa kasih harga bersaing seperti anak ITB. Kalau cocok, membayar berapa pun perusahaan mau. Usut punya usut, beberapa survey top university juga melakukan penilaian terhadap "harga jual" fresh graduate dalam menentukan world rank.

Apresiasi
Saya membaca dua tulisan tentang perkembangan robot ITB di website ITB. Sangat apresiatif. Walaupun seumur hidupnya tak pernah mampu mengalahkan PENS-ITS, mereka punya tekad besar dan dukungan besar untuk maju. Namun di beberapa blog, terpuruknya ITB di bidang robotika jadi bulan-bulanan civitasnya. Dari kritik sampai hujatan, lengkap. Maklum, Robot sudah seperti lambang supremasi anak teknik. Salutnya, walau ada beberapa yang tetap tak mau mengakui dengan menunjukkan prestasi ITB di bidang lain, tapi masih lebih banyak yang bilang,"Kita harus belajar dari mereka,".

Saat saya main ke UI, waktu itu UI bikin baliho besar ucapan selamat atas masuknya UI di peringkat 250 besar world's top university. Saya hanya membayangkan sambil tersenyum, itu baliho bisa sebesar apa ya kalau UI peringkat satu universitas terbaik sedunia-akhirat.

Penghormatan yang mungkin kurang dari diri kita. Banyak mahasiswa yang mendapat juara "cuma diambil pialanya saja". Padahal berapa sih ongkos bikin spanduk untuk membuat ucapan selamat. Bunyi "Selamat kepada Tono atas Juara bla bla bla" itu sudah cukup. Si pemilik nama yang dipampang di sudut jalan itu wes bangganya minta ampun.

Kurang apresiasi atau memang tak ada yang berprestasi, saya tidak tahu. Saya jadi ingat kawan saya di salah satu organisasi yang sering lomba ke luar negeri. Ia mengeluh,"Kalau kita sukses saja, baru dibangga-banggakan. Tapi giliran dimintai bantuan (moril atau materil) pada ngilang semua,". Ya, mahasiswa butuh apresiasi atas tiap ukir prestasi mereka.

Bukan hanya satu, saya sering dengar banyak mahasiswa ITS baik yang mewakili organisasi ataupun pribadi, ketika lomba pakai kantong sendiri dengan segala keterbatasannya. Tapi ketika pulang bawa piala dianggap usaha bersama satu ITS. Istilah kebahasaannya "Totem Pro Parte".

Saya yakin sekali, sebenarnya segmen profil dalam website ITS dapat terus di-update. Namun terkadang, prestasi tersebut sampai ke meja redaksi hanya dari mulut ke mulut. Sedangkan sangat tidak mungkin bagi 12 reporter ITS Online untuk menanyakan satu per satu ke jurusan, siapa civitas yang berprestasi minggu ini.

Masalah jumlah doktor dan profesor juga jadi perdebatan. Kata mereka dalam forum, jumlah doktor pengaruh pada kualitas pengajaran. ITB masih menang jauh dari ITS. Dari 1056 dosen, ITB punya 800 doktor. Sedangkan dari data Laporan Rektor ITS, sampai Oktober 2008 (maaf kurang update) dosen ITS yang bergelar doktor hanya 200 dari 1125 orang. Belum lagi melihat produktivitas ITB dalam jurnal ilmiah internasional. Kurun Juni 2009, ITB masih peringkat teratas, bahkan di atas LIPI. Sedangkan nama ITS belum nongol di lima besar se-Indonesia versi Scopus.

Beberapa tahun lalu, seorang pejabat ITS pernah mengeluh pada media lokal kalau ITS susah menambah doktor dan profesornya karena kurangnya motivasi dan sibuk "ngantor" di luar. Tapi sekarang (mungkin) beda, ITS sedang produktif menghasilkan profesor baru. Para dosen juga "dipaksa" jadi doktor, kalau tidak bisa dibilang terpaksa karena malu dosen-dosen muda sekarang sudah banyak yang doktor. Sekali lagi, motivasi dan apresiasi.

Dr Nieuwenhuis berkata "Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkurban untuk keperluan bangsanya,". Saya mengartikannya sebagai sosok guru yang tulus mengembangkan ilmu untuk muridnya. Melalui muridnya itulah bangsa ini maju. Walaupun guru itu yang akhirnya menjadi korban dengan kesederhanaannya.

Pola pikir terbuka
Walaupun (katanya) sombong, alumni ITB secara terbuka ramai mengkritik almamaternya sendiri. Lihat milis dan blog bertema ITB. Terkadang kritiknya pedas, sehingga debat kusir sering terjadi di dunia maya. Uniknya, pemikiran terbuka dan perdebatan itu berjalan konstruktif.

Mereka juga membahas guyonan Jusuf Kalla saat memberi pidato saat Dies Emas ITB 2009 kemarin. "Kalau negeri ini gagal, maka ITB harus bertanggung jawab,". Argumen Kalla waktu itu karena ITB menempatkan tujuh alumninya di kabinet SBY-JK. Cukup logis, apalagi dua orang ITB juga pernah meraih kursi RI 1. Hati saya nyeletuk, untung ITS cuma taruh Pak Nuh.

Termasuk pola pikir "Saya harus kerja jadi insinyur, karena saya lulusan ITS!" itu cukup terpatri kuat. Apa memang hukumnya wajib ketika saya lulus nanti saya harus bergaul dengan alat-alat pertukangan? Apa tidak ada pilihan lain? Jujur, terkadang hal ini menghambat pola pikir kreatif. Tapi saya sadar, saya tak boleh mengingkari "kodrat" sebagai (nantinya) alumni institut teknologi.

Dalam beberapa blog, civitas ITB begitu bangga dengan pesebaran alumninya. Mereka bernostalgia dengan nama besar Soekarno dan Habibie. Mereka juga bercerita bagaimana apiknya Hatta Radjasa membanting setir dari Kepala BPPT menjadi Ketua Parpol lalu sekarang jadi Ketua Ikatan Alumni ITB. Atau Ahmad Bakrie dan Arifin Panigoro dengan raksasa bernama Bakrie Group dan Medco Group yang mereka rintis dari nol. Mungkin lebih mencengangkan adalah kisah hidup anak desa dari Sulawesi: Ciputra.

Tak jarang alumni ITB yang justru keluar jalur. Seperti bagaimana fasihnya seorang Fadjroel Rahman dan Rizal Ramli beretorika tentang sistem ekonomi negara. Lain hal, tentu para pecinta sastra tak lupa ketika Nirwan Dewanto mengagetkan dunia sastra Indonesia saat ia tampil di kongres kebudayaan 20 tahun silam. Atau bagaimana seorang Purwacaraka pandai menggubah partitur walau latar pendidikannya Teknik Industri.

Sebenarnya pola pikir ini harus sedikit demi sedikit tertanam. Mungkin sudah mulai tampak dalam dunia akdemik dan kemahasiswaan di ITS. Munculnya pelatihan ESQ, mata kuliah Technopreneurship, seminar-seminar softskill, dan semakin banyak mahasiswa yang cum laude dan lulus tepat waktu (walau saya tak termasuk di dalamnya) bisa jadi bukti. Geliat kegiatan mahasiswa juga mulai tampak kreatif dan tepat guna. Beberapa tahun terakhir, dari mahasiswa muncul sebuah gerakan dinamisasi untuk mendobrak jauh keluar pattern yang kolot.

Alumni
Sadar atau tidak, IKA ITS jadi panutan bagi ikatan alumni lainnya. Bahkan di milis IA ITB, IKA ITS benar-benar disanjung. Bukan sebuah khayalan, ikatan alumni bisa jadi kendaraan politik yang cukup solid dan bernilai. Hal itu yang terjadi pada Joko Kirmanto (Menteri PU) mantan Ketua KAGAMA, Sofyan Djalil (mantan Menkominfo) juga bosnya ILUNI, dan Hatta Radjasa (Menko Ekuin) adalah Ketua IA ITB.

Alumni ITB tersebut kagum dengan kedewasaan para alumni ITS. Alumni ITS, katanya, tidak ambisius dan saling sikut. Padahal Pak Nuh, saat masih Menkominfo, berpeluang besar jadi ketua. "Apa ia nggak mau ikut jejak temannya di kabinet?" katanya. Tapi IKA ITS mampu mendorong agar Pak Nuh fokus pada amanahnya sehingga kursi Ketum jatuh ke Dwi Sutjipto, Dirut Semen Gresik, tanpa "pertumpahan darah".

Bukan isapan jempol. Saya pernah kerja praktek di galangan. Ketika itu banyak alumni ITS (bukan banyak tapi semuanya), saya serasa hidup di rumah sendiri. Pembimbing saya sangat membantu, termasuk memudahkan saya membuat laporan. Kalau bertemu alumni ITS rasanya seperti kawan lama tak bersua.

Kekuatan alumni inilah yang sering terlupa. ITB dan UI terkenal punya jaringan yang menggurita di pemerintahan, BUMN, dan BUMS. Kesolidannya terihat dimana ketika ada alumninya yang promosi jabatan, maka semua alumni serentak mendukung. Mereka juga secara aktif menempatkan alumni terbaiknya di institusi penting itu dan merekrut juniornya untuk turut mewarnai institusi. "Alumni ITS kelihatannya kalau sukses sendiri-sendiri, " tulis dalam milis itu. Belum lagi tentang loyalitas mereka pada almamater.

Alumni ITS? Diam-diam menghanyutkan. Baru-baru ini terbit buku berjudul Inspire to Succes: Menuju Kemandirian Bangsa Ide 100 tokoh alumni ITS. Entrepreneur, Pejabat BUMN/BUMS, Pemerintahan, Pendidikan, LSM/Organisasi, dan peneliti. Pucuk-pucuk pimpinan dan posisi strategis itu sudah pernah kita pegang. Bahkan tak sedikit, alumni ITS yang keluar jalur dan sukses. Walau tak sepopuler alumni ITB, nyatanya alumni ITS juga tak bisa dipandang remeh.

Semua poin tadi adalah sedikit perbandingan saja. Masing-masing punya karakter dan nilai positif. Agar tak tergelincir, maka belajarlah merunduk seperti padi. ITB dan ITS memang kampus teknik terbaik, tapi baru di kandang sendiri. Ketika di Asia apalagi dunia, nama keduanya masih "di bawah garis kemiskinan". Bagi saya, lulusan apa pun kita atau bahkan tak pernah mencicipi bangku kuliah sekalipun, akan lebih bernilai ketika kita mampu berkontribusi bagi masyarakat luas di sekitar kita. Dengan cara apapun.

"Dik, Kakak beri kamu sebungkus hadiah untuk ulang tahunmu November besok,".
"Jangan Kak. Beri saja hadiah itu pada Ibu. Dialah yang berjasa sampai kita berumur 50,"
"Sekarang Ibu mana?"
"Itu..." Sang Adik menunjuk gubuk-gubuk reot di balik kemegahan gedung berteknologi tinggi yang dibangun para insinyur cerdas.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan