Rabu, 03 Februari 2010

KTKLN yg bikin gusar

Ini ada petikan pembahasan masalah KTKLN yg lagi rame..


Diana namanya, enam bulan lalu pulang dari UAE, sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Sebenarnya bukan bekerja pada orang lain, namun masih ada hubungan keluarga. Hitung-hitung ketimbang harus mempekerjakan orang lain, lebih baik memanggil Diana, yang waktu itu tidak bekerja sementara butuh penghasilan untuk membiayai anaknya yang sedang duduk di kelas dua Sekolah Dasar.
Diana yang hanya bekerja selama dua tahun di UAE, harus keluar kocek, mulai dari ongkos pembuatan passport hingga fiskal yang jika dihitung jumlahnya akan lebih dari Rp 2 juta, termasuk ongkos transport. Maklum, orang sekelas dia tidak memiliki kendaraan sendiri untuk segala kebutuhan ini. Untuk ukuran Diana, duit sejumlah ini tentu saja ukurannya cukup besar.
Saya menanyakan, apakah masih tertarik untuk bekerja di luar negeri, barangkali ada rekan atau kenalan yang membantu tenaganya, sehingga bisa menjadi peluang baru bagi Diana untuk mendapatkan pekerjaan, ketimbang harus bekerja yang sama di negeri sendiri. Diana berpikir sejenak, butuh waktu untuk mengambil keputusan terakhir. Sebulan lebih berlalu, Diana belum tertarik untuk balik lagi. Ke luar negeri, katanya, tidak semudah pulang pergi Jakarta-Bogor!
Ketika saya tanya kepada Agung, salah seorang warga kita yang baru dua bulan kerja di Qatar, berapa biaya yang dia keluarkan untuk mendapatkan KTKLN, dia bilang Rp 2,500,000 saja! Ini sungguh, bukan bohongan!
Dengan aturan yang baru, KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri), saya jadi mengerti, kenapa Diana tidak terlalu tertarik ajakan ke luar negeri. Dan bagi Agung, KTKLN nyata-nyata sebuah bentuk mempersulit warga Indonesia untuk bersaing bekerja di luar negeri.

Aturan di dalam negeri ini kenyataannya menjadi lebih berbelit. Macam-macam alasan Pemerintah kita (baca Oknum?) mengapa harus diberlakukan hal ini. Jika saya telusuri, terdapat tiga alasan mendasar di belakang KTKLN ini. Yang pertama alasannya adalah penertiban tenaga kerja kita di luar negeri. Yang kedua, alasan monitoring. Dan yang ketiga demi perbaikan sistim serta perlakukan tenaga kita oleh pengguna tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Penertiban

Ada aksi, tentu saja muncul reaksi. Himbauan dari pihak yang mengeluarkan aturan ini mengatakan bahwa aturan ini hendaknya tidak dibesar-besarkan dan jangan dinilai dari satu sudut, yakni mempersulit tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sebuah himbauan yang terkesan mengada ada.

Kenyataannya memang mempersulit. Bagaimana tidak mempersulit jika, baik dari sudut fisik, material dan psikologis cukup membuat tenaga kerja kita yang berada di luar negeri repot, khususnya yang sedang cuti, bisa jadi 'kelabakan' sebelum balik ke negara tempat mereka bekerja. Teman-teman kita yang bekerja dan tinggal di Timur Tengah misalnya, makin memiliki kesan yang kuat, bahwa bukannya pemerintah menyimplifikasikan prosedur, justru memperumit keadaan.

Berapa kali sudah pemerintahan kita melalui sejumlah kabinetnya yang melanglang buana, mengunjungi sejumlah negara, mulai tetangga hingga Belanda, untuk benchmarking masalah ketenaga-kerjaan ini? Tidak jauh-jauh, lihat saja di Filipina, Thailand atau Malaysia. Berapa jumlah tenaga kerja mereka yang berapa di luar negeri? Tidak tertibkah mereka? Di Filipin, dikenal OFW (Overseas Filipino Workers). Mereka yang bekerja di luar negeri, nimbrung bersama dalam wadah dan di bawah payung OFW.

Jika ada masalah, mereka turun tangan. Kedutaan besar mereka di luar negeri adalah kepanjangan tangan OFW. Mereka cepat tanggap jika ada masalah. Bahkan yang namanya pelatihan-pelatihan , seambreg jumlahnya, ditangani oleh mereka. Gratis lagi! Mereka memang harus membayar iuran, tetapi tertib. Mereka juga yang mengurusi passport warga negaranya. Pokoknya, one stop shopping.

Kita? Tidak perlu di dalam negeri, di Qatar saja misalnya, sudah banyak sekali singkatan-singkatan yang membawa bendera sendiri-sendiri, menurut hobi dan profesi masyarakat kita, persatuan ini keq, itu keq. Himpunan ini dan himpunan itu. Tidak dalam kendali satu organisasi yang mengayomi sejumlah bendera profesi, kepentingan maupun hobi.

Kalau kita mau tertib, memang arahannya harus dari atas. Jika yang di atas sana memberikan contoh-contoh yang baik bagi warganya, otomatis bisa dimanfaatkan sebagai cermin bagi kita yang di bawah, rakyat biasa. Kalau dubes kita senang menyanyi dan dangdutan, ya bagaimana warga akan terpacu untuk menggali ilmu atau ketrampilan lain di luar negeri atau bikin banyak kegiatan positif macam orang-orang Filipina? Jangan berharap masyarakat bisa tertib kalau pimpinan dan stafnya amburadul dalam mengelola masyarakat kita.

Berapa jumlah warga kita di luar negeri yang dilecehkan? Di Malaysia, Singapore, UAE, Arab Saudi, Kuwait. Jumlahnya banyak yang tidak terlaporkan. Belum lagi yang lari atau diam di belakang kantor-kantor perwakilan RI. Yang di situ aja belum bisa ditertibkan. Jadi apa maksud KTKLN? Sampai saat ini, masih aja keluhan penanganan di Bandara Cengkareng terhadap TKI-TKI kita seolah-olah mereka masyarakat kelas dua di negeri sendiri. Inikah penertiban yang dimaksud?

Monitoring
Sekarang lagi jamannya computer. Istilah pun jadi macam-macam. Monitor yang semula hanya dipakai untuk layarnya computer, kemudian dipakai untuk menyebut istilah 'kendali' sebagai penggantinya. Monitoring, keren kedengarannya. KTKLN diharapkan pemberlakuannya bisa digunakan untuk memonitor tenaga kerja kita di luar negeri. Apa obyek konkrit yang dimonitor? Pihak KTKLN yang paling tahu elaborasinya.

Barangkali dengan didaftarkannya seluruh tenaga kerja kita di KTKLN, mereka akan memiliki semacam Database yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan statistic. Mulai dari jumlah, jenis kelamin, umur, jenis kerjaan, lokasi negara, klasifikasi gaji dan sebagainya. Untuk apa semua ini? Kembali lagi, pihak KTKLN yang paling tahu dan bisa menjawabnya. Karena mereka sudah melakukan penelitian tanpa harus menjadi warga Indonesia yang pernah kerja di luar negeri.

Ah, jadi kayak Auditor aja. Kalau yang begini tujuannya, ya sebenarnya tidak perlu membentuk sendiri badan semacam ini. Bukankah sudah ada Departemen Tenaga Kerja? Selain itu, ada juga Dirjen Imigrasi. Di lembaga-lembaga semacam ini mestinya sudah tersimpan data yang dimaksud di atas. Jadi apa yang harus dimonitor?

Kalaupun monitoring juga untuk memantau perlakuan 'majikan', tentang salary, jaminan kesehatan, atau urusan tetek bengek lainnya, lho, kan sudah ada KBRI sebagai kepanjangan tangan Pemerintah yang bisa saja di bawahnya dibentuk seksi-seksi kecil seperti FOW bagi orang Filipin di atas? Andai Gus Dur masih hidup, barangkali beliau akan bilang: "Gitu aja koq repot!!"

Memperbaiki Sistem

Hari ini, ketika artikel ini saya tulis, demo besar sedang berlangsung di Jakarta. Istana Negara dilempari peti mati dan tikus (Detik.com, 28 Jan, 2010). Ini suatu pertanda bahwa rakyat kurang atau tidak puas dengan kinerja pemerintah dan sistem yang ada.

Jika tujuannya untuk memperbaiki sistem dalam penanganan tenaga kerja kita di luar negeri, lha terus, apa hasil kunjungan sejumlah anggota DPR dalam beberapa tahun terakhir ke beberapa negara itu? Tidakkah mereka melihat, mana ada negara di dunia ini yang memiliki lembaga semacam KTKLN? Apakah dengan tidak memiliki KTKLN lantas negara-negara tersebut tidak baik penanganan tenaga kerjanya di luar negeri?

Lihatlah orang-orang Inggris, India, Amerika, China, Filipina, Bangladesh, Pakistan, Sri lanka hingga Nepal! Tanyakan kepada mereka kalau punya kartu ini dan itu selain Visa Card, Passport dan SIM? Hal itu tidak mengurangi sistem mereka yang membuat rakyat kondisi sosial ekonominya juga lebih baik ketimbang kita.

Di negeri ini, RT, RW, Kelurahan, Camat, Kabupaten, Kota Madya, hingga kantor Gubernur...apa masih kurang? Di negara-negara Arab, tidak ada yang namanya RT-RW, tapi data pendudukan tertib. Orang memiliki passport saja cukup dan bisa dipakai ngurusin banyak hal tanpa kartu-kartu lain. Kita? Kalau nggak ada KTP atau SKKB, jangankan kerja, melamar saja sulit. Sekarang koq gilirannya KTKLN dengan tujuan memperbaiki sistem.

Ah! Barangkali, menurut hemat saya, KTKLN ini tujuan utamanya hanya untuk menambah perbendaraan singkatan dalam Kamus Bahasa Indonesia di Wikipedia saja. Saya jadi ingat komentar warga asing yang pernah tinggal di Indonesia. Salah satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah: Negara Indonesia adalah negara yang paling kaya mengumpulkan singkatan.

Karena itu, kalau boleh saya panjangkan, KTKLN adalah: Korupsi-Teruskan dan Kolusi-Lestarikan di Negeriku; Kita Terapkan Kepemimpinian yang Liar dan meNakutkan; Kalau Tidak Korupsi, Langsung Nelangsa.

Doha, 28 January 2010

Tidak ada komentar: